C'oz Writing is Exciting...!!!

Thursday, October 05, 2006

Udah Aku ''Cup Muah'', Eh Ternyata Tetangga

Dimuat di Harian Republika, 27 Agustus 2006

Peristiwa memalukan ini terjadi pada tahun 1991. Waktu itu aku masih kelas 5 SD dan tinggal di Kediri, Jawa Timur. Karena sejak kecil sering main komputer dan suka membaca sambil tiduran, rupanya mata saya mulai agak rabun. Tapi, saat itu saya belum memakai kacamata.

Saya tinggal di komplek, dan di seberang rumah saya ada lapangan tenis. Banyak orang komplek yang main tenis tiap sore, termasuk orang tua saya. Biasanya mereka juga mengajak saya ikut main. Suatu sore, seusai mandi dan shalat Ashar saya mendapati rumah dalam keadaan kosong. Ibu sedang berkebun di halaman depan. Ayah tidak ada. Padahal, biasanya jam empat sore sudah pulang dari kantor. Saya langsung yakin kalau ayah sedang main tenis di lapangan sebelah.

Karena sudah pukul 17.15 dan di daerah ini matahari lebih cepat terbenam, maka suasana lapangan terlihat agak gelap bagi saya, terutama di kawasan bangku penonton yang memiliki atap rendah. Selama beberapa menit saya berusaha mengamati orang-orang di sana, tapi ayah saya belum juga terlihat. Ketika mulai bosan, saya melihat beberapa bapak sedang mengobrol di pojok belakang bangku penonton. Mungkin mereka sedang istirahat, karena masih memakai kaos tenis. Saya langsung bersemangat lagi, karena salah satu dari bapak itu memakai kaos warna kuning dengan corak khas yang sering dipakai ayah saya.

Dengan PD dan hati gembira saya berlari ke 'ayah' saya yang sedang ngobrol dan langsung memeluknya dengan manja. Tapi, kok ayah diem aja? Obrolan mereka juga terhenti tiba-tiba. Dengan heran saya melepas pelukan dan ternyata, ''whoaaah!?'' Saya kaget sekaligus malu berat waktu sadar ternyata bapak itu adalah bapak tetangga, dan jelas bukan ayah saya! Langsung saja saya lari meninggalkan lapangan tenis, diiringi tawa bapak-bapak tadi.

Sampai di rumah, eh yang membukakan pintu malah ayah saya, yang saya cari dari tadi. Rupanya tadi ayah sedang mandi, dan saya juga tidak tanya dulu pada ibu. Mereka kompak ngetawain waktu saya cerita bahwa saya habis meluk cium bapak tetangga. Ya ampun, untung waktu itu saya masih kecil. Coba kalau sudah besar? Bisa dibilang apa nanti....

Labels:

Londo Minang

Dimuat di Harian Republika, 28 Agustus 2005

Mengikuti program KKN Universitas Andalas di bulan Juli-Agustus tahun 2001, saya menyimpan banyak cerita kenangan. Bersama delapan teman dari beberapa fakultas, saya ditempatkan di Nagari Pasia Laweh, Kabupaten Batusangkar, Sumatera Barat. Salah satu kegiatan kami adalah membuat acara 17 Agustusan yang dipusatkan di lapangan sepakbola Nagari.

Pad hari H, acara dimulai pukul 10.00 dan makin siang kian ramai dengan anak-anak yang bersemangat mengikuti lomba, seperti balap karung, memecah balon, dan memasukkan pensil ke botol. Mereka sangat antusias. Untung saja panitia sudah mempersiapkan segalanya sehingga semua bisa ikutan.

Ketika lomba makan kerupuk sedang berlangsung, aku melihat seorang anak perempuan berambut pirag berdiri saja di sudut, memperhatikan para peserta yang sebaya dengannya. Penampilan anak itu langsung mengingatkan saya pada anak perempuan bule asal Inggris yang saya kenal di KM Lambelu sewaktu mudik lebaran ke Jakarta. Jadi, saya duga dia seorang turis. Dia pasti ingin sekali ikut lomba, tapi takut tidak dimengerti, pikir saya.

Terdorong rasa iba, saya segera mendekatinya untuk mengajak dia ikut lomba. Saya menyapanya ramah, "What is your name, girl?" Tapi anak itu tidak menjawab. Saya pikir dia malu-malu, jadi saya tanya lagi (masih dalam bahasa Inggris) di mana orangtuanya, berapa umurnya, dari negara mana dia berasal, hingga apakah dia mau ikut lomba makan kerupuk. Tapi dia malah menatap saya dengan pandangan antara tertawa dan bingung. Saya mulai ragu, jangan-jangan dia berasal dari Jerman atau mungkin Belanda, sehingga tidak bisa bahasa Inggris. Sementara itu, di sekitar kami mulai banyak orang yang memperhatikan usahaku mengajaknya ngobrol.

Tak berapa lama, seorang pria berambut agak pirang mendekati kami. Dia pasti bapaknya, pikir saya. Karena penasaran, langsung saja saya bertanya, "Can you speak English, Sir?"
Eh, dengan cueknya dia menjawab, "Ambo urang Minang, Piak. Ndak pandai bahaso bule, doh." (Saya orang Minang, Dik. Tidak bisa bahasa Inggris). Seketika terdengar gelak tawa orang-orang di sekitar kami. Saya rasakan wajah saya merah padam. Ketika bapak itu berlalu, salah satu orang tua di situ memberitahu saya bahwa kedua 'bule' itu urang Pasia Laweh asli, tapi albino. Ya ampun, abis anaknya mirip banget sih sama bule Inggris, sampai nggak kelihatan ciri-ciri albinonya.

Labels:

Segarnya Cuci Muka

Dimuat di Harian Republika, 27 Maret 2005

Ketika masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Andalas (1998-2003), aku mengikuti program KKN di Nagari Pasia Laweh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat, bersama delapan mahasiswa dari fakultas berbeda.

Di Sumbar, tiap-tiap Nagari (semacam desa) biasanya memiliki empat Jorong (semacam dusun). Sebagai orang yang besar di Jakarta, terus terang aku sangat menikmati keindahan alam Minangkabau. Sejak pertama kuliah aku sudah sering ikut mendaki gunung dan perbukitan, maupun berarung jeram.

Karena itu, tentu saja aku menjadi yang paling bersemangat mengelilingi bukit di Nagari tersebut. Tanpa terasa telah dua jam kami mendaki sedangkan ujung Jorong terakhir belum juga terlihat. Karena bosan istirahat, aku jalan sendiri melihat-lihat pemandangan.

Sistem irigasi di Nagari itu cukup baik. Ini terlihat dari pipa-pipa di sepanjang halaman depan rumah penduduk. Airnya sangat jernih, mengalir dari mata air di puncak bukit. Aku mencuci tangan di air yang mengalir melalui sebuah pipa yang terpasang di tembok. Airnya sangat dingin dan segar, meski agak sedikit keruh, sehingga akupun tergoda untuk membasuh wajah yang telah berpeluh.

Selagi asyik menikmati kesegaran tersebut, tiba-tiba dari rumah di belakangku terdengar teriakan seorang perempuan dalam bahasa Minang. "Diak, aie tu kumuah" (maksudnya, Dik, airnya kotor).

Aku segera berbalik. Wanita itu menghampiriku sambil terus bicara dalam bahasa Minang yang terlalu cepat sehingga aku tidak begitu paham apa yang dikatakanya. Untung ada seorang temanku, Rima, anak Peternakan yang asli Bukittinggi segera menangkap maksud ibu itu.

Diajaknya aku melihat ke bagian atas pipa air yang kugunakan tadi. Dan aku langsung terkaget-kaget. Sumber mata air tadi ternyata kubangan kerbau. Air dingin yang kuanggap "segar" tadi berasal dari kubangan tersebut yang bercampur lumpur dan mungkin ee kerbau.

Teman-teman menertawakanku. Dasar orang kota, kata mereka, engga boleh lihat air mengalir.

Labels:

Kumpulan tulisan

Blog ini berisi kumpulan tulisan saya. Hope you can enjoy my writing.